Jepang merupakan salah
satu negara termaju di dunia dari segi ekonomi, pendidikan dan
teknologi. Kerja keras dan semangat pantang menyerah merupakan ciri khas
bangsa Jepang, sehingga terkenal dengan tingkat gila kerja yang tinggi.
Semua itu sepadan jika melihat bagaimana kondisi negara dan
masyarakatnya yang maju dan sejahtera seperti sekarang.
Namun tahukah kalian jika di Jepang ada
suatu masalah diskriminasi yang masih tersisa dan mendarah daging dalam
masyarakatnya, bahkan hingga saat ini? Walau sekarang tidak mencolok
tapi pembedaan terutama dalam pernikahan dan pekerjaan masih ada
terutama di luar wilayah Kansai.
Sejarah Kaum “Eta”
Kaum “Eta” dalam masyarakat
feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam
masyarakat. Bahkan mereka dianggap tidak layak menempati salah satu
kasta yang ada.
Pekerjaan kaum “Eta” adalah
segala yang berkaitan dengan penyembelihan hewan dan urusan kematian.
Penyembelih hewan, pengurus pemakaman, algojo, penyamakan kulit adalah
pekerjaan umum dari kaum “Eta”.
Karena dalam agama Buddha dan Shinto (di
Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang
menjijikkan/rendahan. Maksudnya adalah pekerjaan seperti menyembelih
hewan, algojo sebaiknya harus dihindari, karena akan berkakibat kurang
baik bagi diri kita sendiri.
“Eta” secara harafiah berarti “orang-orang kotor/menjijikkan” (filthy mass, abundance of filth). Ini dikaitkan dengan pekerjaan mereka tadi. Karenanya kaum “Eta” tidak boleh hidup bersama dengan “orang normal” dan harus tinggal didaerah terbuang.
Diskriminasi Terhadap Kaum “Eta”
- Tidak boleh hidup berdampingan dengan kasta lain, jadi tinggal di daerah buangan.
- Pekerjaan hanya seperti yang disebut diatas, urusan kematian, algojo,
hewan sembelihan, penyamakan
kulit. Positifnya, profesi-profesi ini
menjadi monopoli kaum “Eta” hingga banyak yang jadi berkecukupan
dari sini.
- Tidak berhak memiliki sawah. Positifnya, karena pajak berdasar kepemilikan lahan pertanian (beras) maka
kaum “Eta” bebas pajak.
- Tidak berhak beribadah di kuil yang umum. Hanya di kuil yang disediakan khusus untuk mereka.
- Penamaan dalam agama Buddha (di Jepang) acapkali dengan kata binatang,
rendah hati, hina, hamba, dan
ekspresi menghina lainnya dalam huruf
kanji.
- Bila dihadapan orang berkasta harus sopan dan merendahkan diri. Pada tahun 1869 bahkan dikatakan nilai
- Bila dihadapan orang berkasta harus sopan dan merendahkan diri. Pada tahun 1869 bahkan dikatakan nilai
orang “Eta” adalah 1/7 orang umum di Jepang.
- Tidak boleh menikahi orang berkasta.
- Tidak boleh menikahi orang berkasta.
Kaum Buangan Selain “Eta”
1. Kaum “Hinin” (bukan manusia)
Definisi “hinin”, serta status
sosial mereka dan pekerjaan khas bervariasi dari waktu ke waktu, tetapi
biasanya termasuk mantan narapidana dan gelandangan yang bekerja sebagai
penjaga kota, pembersih jalan atau penghibur
Selanjutnya
0 Response to "Kaum “Eta”, Sisi Gelap Masyarakat Jepang PART 1"
Posting Komentar