Kaum “Eta”, Sisi Gelap Masyarakat Jepang PART 1

Jepang merupakan salah satu negara termaju di dunia dari segi ekonomi, pendidikan dan teknologi. Kerja keras dan semangat pantang menyerah merupakan ciri khas bangsa Jepang, sehingga terkenal dengan tingkat gila kerja yang tinggi. Semua itu sepadan jika melihat bagaimana kondisi negara dan masyarakatnya yang maju dan sejahtera seperti sekarang.

Namun tahukah kalian jika di Jepang ada suatu masalah diskriminasi yang masih tersisa dan mendarah daging dalam masyarakatnya, bahkan hingga saat ini? Walau sekarang tidak mencolok tapi pembedaan terutama dalam pernikahan dan pekerjaan masih ada terutama di luar wilayah Kansai.

Sejarah Kaum “Eta”

Kaum “Eta” dalam masyarakat feodal Jepang adalah kaum yang menempati strata paling rendah dalam masyarakat. Bahkan mereka dianggap tidak layak menempati salah satu kasta yang ada.

Pekerjaan kaum “Eta” adalah segala yang berkaitan dengan penyembelihan hewan dan urusan kematian. Penyembelih hewan, pengurus pemakaman, algojo, penyamakan kulit adalah pekerjaan umum dari kaum “Eta”.

Karena dalam agama Buddha dan Shinto (di Jepang) pekerjaan mereka termasuk dalam pekerjaan yang menjijikkan/rendahan. Maksudnya adalah pekerjaan seperti menyembelih hewan, algojo sebaiknya harus dihindari, karena akan berkakibat kurang baik bagi diri kita sendiri.


“Eta” secara harafiah berarti “orang-orang kotor/menjijikkan” (filthy mass, abundance of filth). Ini dikaitkan dengan pekerjaan mereka tadi. Karenanya kaum “Eta” tidak boleh hidup bersama dengan “orang normal” dan harus tinggal didaerah terbuang.

Diskriminasi Terhadap Kaum “Eta”
  
- Tidak boleh hidup berdampingan dengan kasta lain, jadi tinggal di daerah buangan.
- Pekerjaan hanya seperti yang disebut diatas, urusan kematian, algojo, hewan sembelihan, penyamakan
  kulit. Positifnya, profesi-profesi ini menjadi monopoli kaum “Eta” hingga banyak yang jadi berkecukupan
  dari sini.
- Tidak berhak memiliki sawah. Positifnya, karena pajak berdasar kepemilikan lahan pertanian (beras) maka
   kaum “Eta” bebas pajak.
- Tidak berhak beribadah di kuil yang umum. Hanya di kuil yang disediakan khusus untuk mereka.
- Penamaan dalam agama Buddha (di Jepang) acapkali dengan kata binatang, rendah hati, hina, hamba, dan 
  ekspresi menghina lainnya dalam huruf kanji.
- Bila dihadapan orang berkasta harus sopan dan merendahkan diri. Pada tahun 1869 bahkan dikatakan nilai
  orang “Eta” adalah 1/7 orang umum di Jepang.
- Tidak boleh menikahi orang berkasta.

Kaum Buangan Selain “Eta”

1. Kaum “Hinin” (bukan manusia)
Definisi “hinin”, serta status sosial mereka dan pekerjaan khas bervariasi dari waktu ke waktu, tetapi biasanya termasuk mantan narapidana dan gelandangan yang bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan atau penghibur


Selanjutnya  



0 Response to "Kaum “Eta”, Sisi Gelap Masyarakat Jepang PART 1"

Posting Komentar